Sabtu, 23 Juni 2012

KEUTAMAAN BULAN SYA'BAN....???

Oleh: H. Ahsan Ghozali
Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadlan. Siapa yang berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadlan.
Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang banyak (yatasya’abu minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata Syi’b, yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan. Dalam bulan ini terdapat banyak kejadian dan peristiwa yang patut memperoleh perhatian dari kalangan kaum muslimin.
Pindah Qiblat
Pada bulan Sya’ban, Qiblat berpindah dari Baitul Maqdis, Palistina ke Ka’bah, Mekah al Mukarromah. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam menanti-nanti datangnya peristiwa ini dengan harapan yang sangat tinggi. Setiap hari Beliau tidak lupa menengadahkan wajahnya ke langit, menanti datangnya wahyu dari Rabbnya. Sampai akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan penantiannya. Wahyu Allah Subhanahu Wata’ala turun. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah; 144)
Diangkatnya Amal Manusia
Salah satu keistimewaan bulan Sya’ban adalah diangkatnya amal-amal manusia pada bulan ini ke langit. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya menyukai amal saya diangkat, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i).
Keutamaan Puasa di Bulan Sya’ban
Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat, “Adakah puasa yang paling utama setelah Ramadlan?” Rasulullah Shollallahu alai wasallam menjawab, “Puasa bulan Sya’ban karena berkat keagungan bulan Ramadhan.”Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Sepintas dari teks Hadits di atas, puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) lainnya. Padahal Abu Hurairah telah menceritakan sabda dari Rasulullah Shollallu alaihi wasallam, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan mulia (asyhurul hurum).” Menurut Imam Nawawi, hal ini terjadi karena keutamaan puasa pada bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) itu baru diketahui oleh Rasulullah di akhir hayatnya sebelum sempat beliau menjalaninya, atau pada saat itu beliau dalam keadaan udzur (tidak bisa melaksanakannya) karena bepergian atau sakit.
Sesungguhnya Rasulullah Shollallu alaihi wasallam mengkhususkan bulan Sya’ban dengan puasa itu adalah untuk mengagungkan bulan Ramadhan. Menjalankan puasa bulan Sya’ban itu tak ubahnya seperti menjalankan sholat sunat rawatib sebelum sholat maktubah. Jadi dengan demikian, puasa Sya’ban adalah sebagai media berlatih sebelum menjalankan puasa Ramadhan.
Adapun berpuasa hanya pada separuh kedua bulan Sya’ban itu tidak diperkenankan, kecuali:
1. Menyambungkan puasa separuh kedua bulan Sya’ban dengan separuh pertama.
2. Sudah menjadi kebiasaan.
3. Puasa qodlo.
4. Menjalankan nadzar.
5. Tidak melemahkan semangat puasa bulan Ramadhan.
Turun Ayat Sholawat Nabi
Salah satu keutamaan bulan Sya’ban adalah diturunkannya ayat tentang anjuran membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu alaihi wasallam pada bulan ini, yaitu ayat: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab;56)
Sya’ban, Bulan Al Quran
Bulan Sya’ban dinamakan juga bulan Al Quran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa atsar. Memang membaca Al Quran selalu dianjurkan di setiap saat dan di mana pun tempatnya, namun ada saat-saat tertentu pembacaan Al Quran itu lebih dianjurkan seperti di bulan Ramadhan dan Sya’ban, atau di tempat-tempat khusus seperti Mekah, Roudloh dan lain sebagainya.
Syeh Ibn Rajab al Hambali meriwayatkan dari Anas, “Kaum muslimin ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka menekuni pembacaan ayat-ayat Al Quran dan mengeluarkan zakat untuk membantu orang-orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Malam Nishfu Sya’ban
Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah yaitu malam Nishfu Sya’ban. Di malam ini Allah Subhanahu wata’ala mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rizki dan amal manusia.
Banyak Hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dlo’if (lemah), namun Al Hafidh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian Hadits-Hadits tersebut, di antaranya adalah: “Nabi Muhammad Shollallhu alaihi wasallam bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Para ulama menamai malam Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan kemuliaan malam tersebut.
1. Lailatul Mubarokah (malam yang penuh berkah).
2. Lailatul Qismah (malam pembagian rizki).
3. Lailatut Takfir (malam peleburan dosa).
4. Lailatul Ijabah (malam dikabulkannya doa)
5. Lailatul Hayah walailatu ‘Idil Malaikah (malam hari rayanya malaikat).
6. Lalilatus Syafa’ah (malam syafa’at)
7. Lailatul Baro’ah (malam pembebasan). Dan masih banyak nama-nama yang lain.
Pro dan Kontra Seputar Nishfu Sya’ban
Al Hafidh Ibn Rojab al Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan, “Kebanyakan ulama Hadits menilai bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya’ban masuk kategori Hadits dlo’if (lemah), namun Ibn Hibban menilai sebagaian Hadits itu shohih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.” Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Addurrul Mandlud mengatakan, “Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits dlo’if untuk keutamaan amal (fadlo’ilul amal), bukan untuk menentukan hukum, selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu dlo’if (sangat lemah).”Jadi, meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebut dlo’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalam di malam Nishfu Sya’ban.
Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan pengertian bid’ah secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).
Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan dengan sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.”
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.
Syeh Ibnu Taimiyah berkata, “Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah.
Walhasil, sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah pada malam itu
dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain.
Tuntunan Nabi di Malam Nisyfi Sya’ban
Rasulullah telah memerintahkan untuk memperhatikan malam Nisyfi Sya’ban, dan bobot berkahnya beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali Rodliallahu anhu, Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika tiba malam Nisyfi Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu Majah)
Malam Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam mengatakan, “Doa adalah senjatanya seorang mukmin, tiyangnya agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim). Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa -selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah Subhanahu wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).
Tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa yang khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.
Adapun kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin tiga kali, dengan berbagai tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan diberi pertolongan dapat selalu taat kepada Allah. Kedua, bertujuan mendapat perlindungan dari mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga, memperoleh khusnul khatimah (mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang melarang, meskipun ada beberapa kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah yang salah dan batil.
Dalam hal ini yang patut mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan Nabi tentang sholat di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak berasal dari beliau. Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah sebuah riwayat dari Sayyidina Ali, “Bahwa saya melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya’ban melakukan sholat empat belas rekaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14 x), Surah Al Ikhlas (14 x), Surah Al Falaq (14 x), Surah Annas (14 x), ayat Kursi (1 x), dan satu ayat terkhir Surat At Taubah (1 x). Setelahnya saya bertanya kepada Baginda Nabi tentang apa yang dikerjakannya, Beliau menjawab, “Barang siapa yang melakukan apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan mendapatkan pahala 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu dia berpuasa, maka ia seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Dan masih banyak lagi Hadits-Hadits palsu lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin. (Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Muhadditsul Haromain).

Senin, 06 Februari 2012

Makna Dan Etika peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW


  • Nabi Muhammad SAW adalah nabi Ummat Islam di seluruh dunia. Beliau adalah Nabi akhir zaman. Penutup para Nabi. Khotamun Nabiyyin. Tidak akan ada nabi yang akan diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalahNya setelah Nabi Muhammad. Jabir pernah bertanya kepada Nabi Muhammad, ” Ya Rosulallah, Demi Ayah dan Ibuku, sampaikan pada saya tentang sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT sebelum menciptkan yang lain”. Nabi Menjawab, wahai Jabir, sesungguhnya Allah menciptkan Nur Nabimu Muhammad SAW sebelum menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini. Dan segala sesuatu di alam semesta ini adalah dari cahaya Nabi Muhammad SAW. Dan Nabi pernah bersabda, saya adalah Nabi yang diciptakan pertama kali dan diutus paling akhir.

    Pada tanggal 12 Robiul Awwal 1433 H tepatnya hari ini tanggal 17 Februari 2012 kita memperingati hari kelahiran beliau. Nabi Muhammad lahir di kota Mekkah dan wafat di kota Madinah. Beliau lahir dengan penuh keajaiban-keajaiban. Di antara yang saya ketahui ketika lahirnya Nabi Muhammad seluruh pepohonan yang tidak pernah berbuah waktu itu langsung berbuah, api yang tak pernah padam dan menjadi sesembahan warga Majusi, ketika lahir nabi apa itu langsung padam. Ketika beliau lahir langsung sujud kepada Allah SWT. Ada lagi ketika beliau lahir sang ibu tak merasakan sakit sedikitpun. Tidak ada darah bercecer bekas melahirkan.

    Makna Peringatan Maulid Nabi

    Peringatan maulid adalah upaya mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tentu saja tidak hanya mengingat hari lahir beliau. Tapi juga mengingat jasa-jasa beliau yang telah menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia termasuk kepada kita. Ingat juga pada sifat-sifatnya yang luhur budi, penyabar, rendah hati dan lain – lain. Sikapnya yang tegas menyebarkan dakwah Islam patut kita teladani. Makna peringatan maulid adalah menyegarkan kembali ingatan kita akan ajaran Nabi dan kita harus siap untuk melaksanakannya.

    Memperingati hari lahir tidak boleh hanya sebagai kegiatan ritual semata. Tapi harus diaplikasikan atau diwujudkan dalam aktivitas nyata kita di kehidupan sehari-hari. Jika ada yang memperingati maulid dengan menyediakan makanan dan buah-buahan itu oke – oke saja dan tentu saja halal. Yang paling penting adalah niatnya. Karena segala sesuatu itu tergantung pada niat kita. Menyiapkan makanan dan buah-buahan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW tentu sangat baik. Niatnya tentu saja adalah untuk memperbanyak sedekah kepada orang yang kita undang untuk peringatan maulid. Jika kita mampu mengapa kita tidak ajak orang berkumpul sambil membaca shalawat setelah itu menghidangkan makanan ala kadarnya sesuai dengan kemampuan.

    Etika Merayakan Peringatan Maulid Nabi

    Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini.

    Imam Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid pertama yang disusun oleh ulama.

    Di negeri kita tercinta ini, meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya.
  • Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.


    Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.Pendapat Ibnu Taymiyah:


    Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul".

    Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno,judi dsb.

    Pahamilah dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat dalil itu pekerjaan para ulama.

    Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.

    Pertama Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya.

    Kedua: Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir, dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama), akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan agama).

    Ketiga: Amalan yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).

    Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah".

    Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta".

    Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya".

    Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan".

    Imam Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia".[2]

    Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah".

    Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat"

    Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.


    1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman:

    قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

    “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.



    2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:


    عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم


    "Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).

    3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.


    Kesimpulan Hukum Maulid

    Melihat dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah sebagai berikut:


    1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan itu tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.

    2. Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau.

    3. Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan lain yang tidak Islami.